Seringkali kita bersyukur atas apa yang kita punya setelah
melihat orang lain tidak punya hal yang sama. Seringkali kita sadar hidup kita
begitu berharga setelah menyaksikan orang lain mengakhiri hidupnya dengan
sia-sia. Dan seringkali kita ingat setelah mengetahui orang lain lupa. Kenapa harus
ada orang lain dalam syukur, sadar dan ingat? Kenapa kita sering butuh
pembanding?
Bersyukur atas sehat setelah melihat orang lain sakit, atau
bersyukur atas nikmat selamat setelah menyaksikan orang lain terkena musibah. Bayangkan
jika kita adalah mereka yang diperbandingkan.
“Alhamdulillah gw selamat, rumah ngga kebanjiran sampe
kehilangan banyak barang berharga kaya di sono.”
“Syukur gw TAnya lancar, ngga susah, adaaa aja masalah kaya
si itu.”
Hello, can we change the subject, please? Sesakit itu
membayangkan seandainya gw adalah orang yang diperbandingkan, yang rumahnya
kebanjiran misalnya.
Sesulit itukah syukur ada dalam wujudnya yang utuh? Tanpa pembanding.
Cukup apa yang ada, nafas misalnya, itu saja.
ilustrasi: silakan terjemahkan sendiri. credit: Departemen Pecinta Rasul, WU 2010 |
susah emank klo g mbanding2in... kenyataannya klo kita hidup sama orang banyak.. dan selalu mendapati sesuatu yang bisa kita syukuri dari orang lain.. mungkin itu salah satu keuntungan manusia sebagai makhluk sosial.. :angel
ReplyDeletemak gw gabisa terjemahin ilustrasinya. terjemahannya apa mak? haha
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteNice posting Mba... ^.^d
BTW, masih blum ngerti terjemahan ilustrasinya apa? -,-