“Why don’t we just dream away, if that could make us stay..”
Hari Jumat
siang, dalam udara kota pinggiran yang sejuk. Aku menatapmu dalam-dalam,
menerka apa yang sedang kau pikir di seberang meja kita. Kau tertunduk,
sesekali meraih handphone entah untuk apa. Ada gesture tidak nyaman dari caramu
duduk. Kita terdiam. Satu, dua, lima, sepuluh, limabelas menit, dan kita masih
diam. Gelas cappuccino milikmu sudah berembun, dan lemon tea di hadapanku sudah
tak tersisa esnya. Kau meraih lagi handphonemu, walaupun kau tahu aku sering
tak nyaman dengan terlalu seringnya kau berinteraksi dengan handphone saat kita
seharusnya bertukar pikiran di dunia nyata.
“Kenapa kita
nggak mimpi aja sih biar nggak harus kaya gini?” Aku membuka pembicaraan. Entah
kalimat apa yang baru saja terucap. Rasanya kalimat itu meluncur tanpa filter
sama sekali hanya untuk membuatmu meletakkan handphonemu. Dan sukses rupanya,
kau tampak bingung dengan kata-kataku dan handphonemu kau istirahatkan di
samping capuccinomu. Kita sama-sama tahu untuk apa kita bertemu siang ini, tapi
kita sama-sama menghindar dari pembahasan itu. Sesuatu yang kita sebut
berpisah. Aku lupa seberapa lama aku sudah mengenalmu, atau bagaimana kita
bertemu, atau apa kesan pertamaku padamu. Waktu menghapus semuanya, dan aku
lupa karena aku sempat tak peduli bagaimana aku mengenal sosok yang saat ini
ada di depanku. Aku hanya peduli bahwa aku mengenalmu dan itu sudah lebih dari
cukup.
“Kita nggak
bisa selamanya mimpi, toh?”. Itu rupanya responmu dari kalimat pembukaku. Tak ada
adu argument sama sekali seperti biasanya. Tak ada juga tawa, hanya beberapa
senyum kecil yang dipaksakan.
“Aku tahu
bakal sulit buat kita, karena nyatanya kita ambil keputusan buat pisah ini
bukan karena kita ada masalah. Tapi karena kita sama-sama tahu ini harus. Dan karena
kita nggak punya pilihan, Sin.”
Aku mengutuki
doktrin bahwa wanita punya stok air mata berlebih. Harusnya aku nggak nangis
saat ini. Minimal, nggak di depannya. Segera kuhabiskan lemon tea di depanku
dan aku berdiri, pamit pulang duluan. Kurasa sudah jelas semuanya, bahwa memang
perpisahan ini adalah sebuah keharusan.
“Sin, kamu
nangis?” Aaaah, tak pernahkah kau baca pertanyaan macam itu hanya akan menguras
air mata lebih banyak? Aku menunduk, kali ini aku mengutuki air mataku yang
ingin kusembunyikan tapi tak berhasil. “I promise, I will still be your friend,
I will always be there when you need me. Yang harus kita benerin sekarang ini
perasaan kita masing-masing, Sin.” Kau mengusap kepalaku seperti biasanya, gesturemu
yang menjadi favoritku. Tapi berbeda, ini pasti yang terakhir.
“I know this
is wrong, but….. could I get a hug?”. Kau mematung di depanku, aku tahu aku
selalu berhasil mendapatkan apapun dengan ekspresi seperti ini, muka merah dan basah
oleh air mata, tapi kali ini kau tampaknya tak akan mengabulkan permintaanku
satu ini. Not your fault, I know we shouldn’t. Aku pulang.
***
Aku tahu bahwa mimpi baik boleh diceritakan sedangkan
mimpi buruk tak boleh diceritakan. Masalahnya adalah, aku tak tahu pertemuan
kita kemarin itu termasuk yang mana. Masalahnya adalah aku tidak tahu,
memimpikanmu itu baik atau buruk. Aku biasanya membiarkan mimpiku berlalu, tapi
entah kenapa mimpi menemuimu dengan dua gelas minum di meja kita itu begitu melekat.
Kau tahu, terbayang orang asing dari mimpi itu terasa
sangat aneh. Lebih aneh lagi ketika kau harus melihatnya di dunia nyata, hanya
melihat karena nyatanya kau tidak mengenalnya.
You and I painting rainbows when no
rain falls on our wall
Smelling raindrops on a hilltop as
they fall
You and I laughing loudly with no
reasons in our walk
Chasing sunsets, dancing minuet in the
dark
Why don’t we just disappear, if that
could keep us here?
Why don’t we just dream away, if that
could make us stay?
Why can’t we just dream away? We’re
not real anyway.
Hampir
saja aku lupa bahwa kita tak nyata, dan kau hanya sosok yang hidup dalam
imajiku, termasuk mimpi itu. Tapi entah apa yang membuatku begitu merasa
kehilangan. Kau bilang kau akan selalu ada, atau menjadi teman yang siap
membantu atau menemaniku bercerita; nyatanya aku ternyata berbicara sendirian. Definisi
teman bicara yang kita punya berbeda. Bahkan dalam imajiku pun kau hilang. Kau berubah
sikap. Sosok teman bercerita yang selalu meresponku dengan hangat sudah tak ada
lagi. Aku bahkan tak lagi bisa menemuimu disana, di duniaku yang bukan dunia
nyata. Kenapa begitu merasa kehilangan kalau memang tak pernah memiliki? Oh iya,
hampir saja aku lupa, aku bahkan tak mengenalmu di dunia nyata, dan dalam
imajiku pun aku tak lagi mengenalmu. Dan aku rasa, senyum kecilmu di sana saat
melihat namaku muncul di handphonemu pun tak lagi ada.
Lagi-lagi.
Not your fault, I know we have to.
But can I just say one thing?
May I say I miss you? I guess I did, without your permission. You know me, I’m impulsive.
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca! Silakan tinggalkan komentar di bawah ini :)