Ini adalah ceritaku dan cerita golonganku, perempuan, di abad duasatu.
Ironi. Di sana sini perempuan bersolek, memakai pakaian rapi dan bagus, bahkan mahal. Di luar rumah, banyak yang seolah berlomba ingin berteriak dalam heningnya "Ini loh bajuku bagus dan mahal, branded." seolah semua itu akan menaikkan status sosial dan penilaian masyarakat atasnya. Baju, tas, asesoris, sepatu, semuanya tak terima jika hanya barang murah beli di pasar yang berdesakan.
Ironi. Di sana sini, perempuan berlomba memakai parfum. Tak cukup pede mungkin jika tak wangi, hingga waktu harus naik bus atau kereta berangkat kerja, orang di belakangnya harus sering menahan nafas saking pekatnya parfum mereka. Entah untuk apa, mungkin parfum memang sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern golonganku itu. Tapi aku lalu teringat kata guru ngajiku, bahwa wanita yang memakai parfum supaya para pria mencium baunya yang wangi sama saja dengan berzina. Andai saja semua perempuan tahu itu, pasti perempuan takut memakai parfum sesemerbak itu.
Ironi. Perempuan modern di rumah mempekerjakan pembantu, yang mereka tugaskan untuk mencuci baju. Tapi setelah aku berkunjung ke beberapa kenalanku dan menengok sejenak isi mesin cuci dan jemurannya, serta sedikit menanyai pembantunya, rupanya hanya baju-baju mereka saja yang dicuci. Oh memang ada apa lagi yang harus dicuci? Mungkin mereka lupa, ada beberapa potong kain yang harus juga dipenuhi haknya untuk dicuci.
Potongan kain yang sering terlupakan itu bernama mukena. Di saat para perempuan abad dua satu berdesakan di mall dengan tulisan diskon atau midnight sale, memperebutkan barang branded dengan harga diskon yang masih mahal menurutku, mereka rela mukenanya adalah mukena bertahun-tahun yang lalu, yang dibeli di pasar dengan harga di bawah lima puluh ribu. Tentu saja aku tidak mempermasalahkan dimana mereka beli atau berapa harga mukena itu, aku hanya melihat ini sebagai dua hal yang begitu berkebalikan.
Allah itu indah dan mencintai keindahan (muttafaq alaih). Wanita modern tentu tahu akan hal ini, tapi entah, mungkin sebatas tahu. Bukan lantas aku berprasangka, tapi nyatanya, banyak perempuan sukses yang baju-bajunya bagus dan bermerk, dan beberapa mahal; yang begitu memperhatikan penampilan dan selalu risih memakai baju yang sama lebih dari dua kali, mukenanya sobek di ujungnya, dan ada yang tidak dicuci sampai satu bulan. Padahal dipakainya lima kali sehari, minimal. Beberapa ada yang sampai timbul bintik hitam di mukena bagian kepala yang bersentuhan dengan wajah, mungkin efek air wudhu yang menempel dan menjadikannya lembab. Beberapa juga rela mukenanya yang tadinya putih bersih menjadi kuning kecoklatan, lalu ada juga yang atas putih bawahnya hijau, karena pasangan masing-masing sudah rusak sehingga sisa yang masih bisa dipakai dipadupadankan. Beberapa ada pula yang mukenanya banyak bekas merah, bekas lipstik yang terkena saat sujud dan menempel tak bisa hilang karena tak segera dicuci.
Bukan lantas membuang begitu saja mukena yang mulai usang. Tapi, tidak tersisakah malu, sedikiit saja, pada Allah yang memberikan rejeki? Allah berhak atas penampilan terbaik kita pada saat menghadapnya. Shalat dengan mukena bersih, wangi karena sering dicuci, tak kusut karena sudah disetrika, tak compang-camping sobek sana-sini; sungguh nyaman.
Sudah masuk waktu dzuhur, aku akan segera shalat. Biarlah make-up ini terhapus dan digantikan dengan cahaya yang lebih indah dari Allah dan malaikatNya. Dan hari ini aku memilih shalat tanpa mukena, menggunakan jilbab yang sudah menempel di tubuhku, karena kerudung panjang baju longgar, rok dan kaos kaki ini memudahkanku untuk shalat dimana saja tanpa pusing memikirkan mukena.