Seorang pelari, mitosnya, hanya akan bertambah ketahanan larinya jika ia menembus jarak yang belum pernah dia capai sebelumnya.
Oh nyata rupanya mitos itu. Nama gw Rahma, perkenalkan.
Olahraga jelas bukan hobi kesukaan gw karena sejak SD track record olahraga gw
ngga pernah mempesona. Senam lantai berakhir jatoh nendang pak guru lah, lari
selalu tertinggal di belakang dan ujungnya minta bonceng sepeda pak guru karena
ngga kuat lah, main kasti lalu kepukul bola karena larinya pelan lah, main
sepak bola lalu sepatunya copot trus malah sepatunya dijadiin tendang-tendangan
lah, main voli yang padahal jago juga enggak bahkan bola banyak melesetnya tapi
tangan jadi bengkak lah, paling parah pemanasan mau olahraga trus jatoh sendiri
sampe tulang lututnya mengsol dan musti ditandu gabisa jalan. Uhuhu, kelam saudara.
Iya, olahraga ngga pernah jadi sesuatu yang gw nanti-nantikan sejak SD sampe
SMA.
Sewaktu kuliah, gw diajakin ikutan seni beladiri yang dari
situ gw belajar sesuatu yang sangat-sangat-sangat berharga.
“Kalau kamu mau berkembang, kamu harus nembus limit yang
kamu punya. Kamu sekarang cuma bisa lari keliling lapangan 6 kali, kalau kamu
ngga pernah nyoba keliling 10 kali, skillmu segitu-gitu aja, Rahma.”, kata kak
Nugi Tartaruga, graduado yang ngelatih capoeira di IT Telkom. Kalimat itu tercetus
karena gw, sebagai satu-satunya cewek di situ, minta keringanan lari pemanasan
keliling lapangan.
Bener banget ngga sih?
Kalau kita ngga pernah nyoba melakukan sesuatu yang baru,
skill kita bakal segitu-gitu aja. Dulu, senior di kampus yang sekarang udah
lulus kuliah di Korea, kak Tomhert, pernah bilang "Beasiswa itu ngga sulit
sebenernya, tapi ribet. Makanya banyak yang ngga mau ngurus. Kalau ngga mau
nembus batas kemalasan ngurus syarat-syaratnya, ya kita ngga akan dapet
beasiswa." Kalau bahasanya murrabi gw (hahaha asik ye murrabi, pertemuan
mingguan ngga pernah se-nyandu ketemuan sama beliau dan temen sekelompok, I
swear), kalau selama ini baru bisa ngaji 5 lembar sehari dan udah ngos-ngosan
banget, coba dipaksa tambah jadi 6 lembar. Kalau ngga dicoba paksa naik level,
sejuz per hari ngga akan pernah tercapai.
When you have a good plan, you are half way already. Tapi
percuma toh segudang rencana yang mengonggok jadi rencana aja? Segalanya butuh
aksi nyata. Segalanya butuh “yang pertama”.
Waktu gw SMP, gw ikut ekstra apresiasi sastra (EAS) yang di
sana anggotanya dilatih untuk paham sastra. Jangan bayangin gw baca roman-roman
karyanya Armyjn Pane, Marah Rusli dan sebangsanya. Anak SMP terlalu dini
mencerna novel seberat itu. Di EAS, kami dilatih buat paham puisi dan ngomong
di depan khalayak. Selain dicekokin puisinya Chairil Anwar, Taufik Ismail, WS
Rendra, Sultan Takdir Alisjahbana daaaan sebagainya, kami dilatih buat bikin
puisi termasuk ngebaca dan bikin prosa dari puisinya. Teknik vocal, tempo,
penghayatan dan sodara-sodaranya juga harus ditelan. Nah, inti poinnya adalah,
waktu SMP kelas 1, untuk pertama kalinya gw harus ngomong di depan 600 orang
lebih jadi MC isra’ mi’raj. Grogi? Pasti lah! Mules-mules demam panggung, tangan dingin, jantung rasanya berdetak kenceng banget. Gemetar.
Semuanya masih terekam jelas karena itu adalah sesuatu yang bisa disebut
“pertama”. Pertama kali ngomong di depan segitu banyak orang (bukan pake teks
protocol upacara yang udah fix). Tapi kalau gw ngga pernah menembus batas itu,
gw ngga akan berkembang.
We live only once. Di hari senja nanti, yang
akan kita inget bukan masa-masa santai leyeh-leyeh di rumah tapi masa-masa kita
jungkir balik memperjuangkan mimpi. Don’t overthink, break your limit!
waah, kk dr IT Telkom kenal ka suardika putra juga dong,, hehe #kepo
ReplyDeletetp kece ka tulisanya, bener bgt, klo g nyoba untuk menjadi lebih, brarti ya disitu2 aja posisi kita :D
teteh.. asa ngena banget.. aku udah pernah "broke my limit" tapi karena engga dikembangkan jadi "stuck on my own limit" huhu..
ReplyDeleteYapsss, itulah kenapa gue sekarang bisa didepan kompi lebih dari 5jam..hahhaa
ReplyDeletedulu sejam dua jam udah empet, lama lama krasan juga..
:D