Kampus masih tampak sama sekilas. Pohon-pohon masih tegak di
tanah tempatnya menyerap nutrisi, gedung-gedung masih kokoh dan tampan dari
kejauhan. Lorong-lorong, yang kata orang seperti lorong rumah sakit, masih sama
misteriusnya. Semua masih sama kecuali dua hal, pertama bahwa ia bukan lagi
mahasiswa dan kedua adalah bahwa orang-orang berseragam putih biru yang dia
temui kini asing. Ia masih dikenal, disapa banyak orang, walaupun dengan sapaan
‘kak’ bukan lagi namanya seperti dulu. Ia tak lagi menemui sebayanya,
orang-orang yang bisa dengan bebas ia teriaki dari jarak belasan meter. Ia tak
bisa sebebas dulu berjalan berjingkat-jingkat sambil sesekali melompat mencoba
meraih kayu-kayu di atap lorong kampus. Saat ini ada predikat yang harus ia
jaga. Ia adalah dosen muda yang baru diangkat di kampus tempatnya mendapatkan
gelar sarjana.
Jumat, 23 Mei 2014. Matahari Bandung bersinar terik,
menyengat setiap penghuni Bandung pinggiran yang sering disebut Bandung coret.
Dayeuhkolot tak terkecuali. Siang ini ia berjalan melewati lapangan futsal.
Senyap. Hanya ada beberapa rompi seragam dijemur, didiamkan begitu saja di
dalam lantai lapangan yang memantulkan panas terik. Perempuan itu menoleh ke
satu sudut lapangan yang begitu familiar. Ada sesosok bayangan disana, tengah
duduk memegang botol minum, menoleh dan tersenyum. Ia mengerjap, bayangan itu
hilang dalam kedipan mata. Ini bukan kali pertama. Dulu ia percaya bayangan
seperti ini adalah hantu, tapi belakangan ia sadar ini rindu. Ia terus
berjalan, berharap apa yang baru saja dilihatnya adalah nyata.
Berjalan menyusur lorong sendirian melemparkan ingatannya
pada tiga tahun lalu. Orang-orang dengan seragam yang sama tapi dengan cerita
yang berbeda. Dari ribuan mahasiswa kampusnya, yang tiap hari berseragam putih
dan rok atau celana biru dongker, ada satu orang yang selalu berhasil menangkap
matanya. Ada satu orang yang setiap sapaannya ingin dia rekam untuk diputar
berulang. Ada satu orang yang hanya dengan senyumnya saja rasanya masalah
terselesaikan. Satu orang yang tatapannya saat menyimak cerita seperti memberi
solusi.
Ia teringat kutipan Kahlil Gibran dalam bukunya Almustafa,
“Dan selalu saja cinta menyadari kedalamannya ketika perpisahan tiba.” Selalu
pula, rindu menemukan pemiliknya ketika jarak menjadi sesuatu yang bisa diukur.
Banyak orang memilih jujur ketika rindu, ia termasuk dalam
segolongan orang yang diam. Mengirim kode-kode yang hanya dipahaminya sendiri.
Menyapanya dalam dialog pada Tuhannya.
Ia berakhir di depan gedung tempatnya mengenal laki-laki itu,
mahasiswa yang selalu berhasil menangkap matanya. Rindunya menemukan
pemiliknya. Rahmad.
Ini curhatan. Bukan cerpen.
ReplyDelete