Seperti koin yang terdiri dari dua sisi, seperti itu pula
manusia. Selalu ada yang mendukung dan yang menjatuhkan, karena hakikatnya
setiap hal diciptakan berpasangan.
Perkenalkan, nama perempuan itu Rahma (bukan nama
sebenarnya, karena nama samaran Bunga udah terlalu mainstream di Koran-koran
tigaribuan). Usianya 22 tahun saat cerita ini ditulis. Sudah punya KTP sejak
empat tahun lalu. Sudah punya SIM C sejak akhir tahun lalu.
Berkeinginan bisa naik sepeda sejak kelas 1 SD membuatnya
merajuk minta dibelikan sepeda baru, bukan lagi sepeda roda tiga merk Family
yang rodanya berwarna ungu. Di hari yang dinanti, sang Bapak membelikannya
sepeda baru. Merknya Subaru warnanya ungu. Semangat bersepedanya mendadak sirna
melihat sepeda baru yang tidak sesuai kriteria. Rahma ingin sepeda mini
berwarna pink dengan keranjang di bagian depan, sedangkan yang ada di
hadapannya adalah sepeda gunung yang disebutnya pit federal.
Setiap disuruh latihan bersepeda, Rahma akan pura-pura jatuh
atau dengan sengaja menjatuhkan diri sebegai alasannya berhenti belajar sepeda.
Kelas 2 SD, saat teman-teman sepermainannya bersepeda keliling kampung, Rahma
cukup puas dengan berjalan di paling belakang konvoi sepeda. Rahma berjalan
menggandeng sepedanya. Kegiatan ini dia sebut bersepeda yang dalam bahasa asli
disebut pit-pitan.
Kelas 3 SD, bu Guru, Bu Leginah namanya, bertanya “Siapa
yang belum bisa naik sepeda ngacung!” dan tanpa ragu Rahma mengangkat jari
telunjuk kanannya. Dia diam sesaat, menyadari bahwa hanya dia dan satu orang
yang mengangkat tangan belum bisa naik sepeda. Sepulang sekolah, Rahma (ingat,
bukan nama sebenarnya) bergegas berlatih naik sepeda. Dia pernah terjerembab di
pagar tetangga karena tak bisa menghindar dari motor yang lewat. Dia pernah
menabrak tukang gulali karena tak bisa mengerem sepedanya. Dia jatuh
berkali-kali, tapi dia bangkit lagi.
Dalam proses berjalan menggandeng sepeda hingga bisa naik
sepeda sendiri itu, ada orang-orang yang mendukung dan ada juga yang
menjatuhkan. Rahma berkesimpulan, tak semua omongan orang itu benar.
Persis sama gw sekarang yang belum lama berani bawa motor di
Bandung. Awalnya bawa motor jarak 100 meter aja rasanya jauh lebih cape dan
ngos-ngosan dibanding jalan kaki. Kenapa? Karena grogi. Awalnya, setiap bawa
motor, Tari selalu mengawal di belakang pelan-pelan, memastikan gw aman.
Lama-lama, berani boncengin orang, lalu berani bawa motor ke Pangalengan. Hidup
itu penuh dengan proses.
Di saat seperti ini, akan kelihatan siapa yang mendukung dan
siapa yang ngga pengin lo berkembang. Contoh sederhananya ya kasus bawa motor
ini. Ada yang memberi semangat dan berusaha memastikan gw aman, ada juga yang
meremehkan dengan “Wah lo bawa motornya aja masih ngeri gitu ngga seimbang.
Udah bonceng aja.” Yang ngomong cowok. Eits enak aja _-_ *roll depan*
Di saat-saat sulit, lo akan tahu siapa yang selalu berusaha
ada dan mengerti, dan siapa yang pura-pura ngga tahu apa-apa. Hidup itu penuh
dengan proses, dan hal-hal semacam ini mungkin bagian dari proses menemukan
siapa orang-orang yang paling pantas lo percaya.
niat hati membentuk tulisan SC, sama salah satu orang paling terpercaya hihihi |
p.s. terima kasih untuk yang selalu percaya dan bisa
dipercaya, terima kasih untuk yang selalu bisa mengerti.
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca! Silakan tinggalkan komentar di bawah ini :)