Mau kemana mbah?
Mau jual ayam bu. Kemaren anak saya nelpon bilang 'Mbok, uangnya masih ngga? Kalo habis aku transfer nanti' trus ya saya jawab "Masih, nggak usah tranper tranper sekarang, nanti aja pas lebaran.
Lalu ayam betina itu terjual seharga limapuluh ribu.
Tinggal di kota berbekal pengalaman tumbuh di desa bikin gw mikir, nilai uang di kota bener-bener dihargai sedemikian murah. Parkir aja ngga mau dikasih seribu, mintanya dua ribu. Pengemis di perempatan kalo dikasih receh limaratusan suka ngomel-ngomel bilang kurang. Mahasiswa, sekali makan pasti ngga kurang dari lima ribu. Makan pake ayam, udah habis duabelas ribu. Ngga cuma sampe di situ, setelah kerja, gw menyaksikan gaya hidup temen-temen kuliah banyak yang berubah. Sebentar-sebentar jajan di cafe yang sekali duduk selembar seratus ribuan melenggang. Seminggu sekali ke mall yang ngga mungkin ngga ngeluarin sepuluh ribu doang. Yang ongkos parkir mallnya kalo dibawa ke kampung gw udah bisa buat makan satu keluarga seharian. Lima puluh ribuan melayang dengan cepetnya. Ah, ngga heran, cara dapet uangnya mungkin memang lebih gampang dibanding orang-orang kampung gw.
Di sini, desa yang mayoritas petani, untuk bisa bertahan hidup dengan dapur mengepul adalah hal yang diusahakan setiap anggota keluarga. Buruh tani cuma dibayar ngga lebih dari limapuluh ribu sehari, dengan jam kerja dari pagi sampe sore, belepotan lumpur dan dijemur di bawah matahari. Lalu limapuluh ribu itu akan dipakai untuk alokasi kebutuhan beberapa hari. Mbah yang jual ayam tadi, karena tinggal sendiri, mungkin cukup dengan membeli bayam seikat dan tempe tiga biji seharga seribu untuk buka dan sahur.
life is not always that easy |
Temen gw pernah bilang "Ini lah Mak bedanya kerja pake otak sama pake otot." dan gw mengangguk setuju. But the point is, uang dihargai sedemikian murahnya di kota, padahal di desa, uang seribu pun sangat berarti.
Gw pernah ngerasain sendiri, pas kuliah, saat kebutuhan bulanan membengkak lantaran ngerjain TA, dan tabungan habis, uang bulanan pun sama nasibnya. Tipis. Gw cuma beli nasi tigaribuan buat sarapan, dan gw doreng ikan asin sendiri. Sorenya, gw mengulang hal yang sama atau memilih beli gorengan dua ribu untuk bertahan sampe paginya. No, gw memilih untuk ngga minjem uang temen. Bilang ke orangtua jelas sebuah pilihan menggiurkan, tapi gw ngga mau. Gw harus bertanggungjawab dengan jatah bulanan yang sudah dianggarkan, walaupun harus makan ikan asin sampai awal bulan tiba lima hari kemudian.
Ngga salah kan menikmati hasil kerja sampe lembur-lembur gini? Sama sekali ngga salah. Tapi, di luar sana banyak orang yang sangat bersyukur hanya dengan mempunyai uang lima ribu di dompetnya untuk sekeluarga seharian. Salah kalau kita ngga bersyukur. Bukankah kepala kita akan tengengen kalau selalu mendongak?
Tengengen = leher pegel karena terlalu lama melihat ke satu arah saja.
e pertama dan kedua dibaca seperti dalam teh, e ketiga dibaca seperti dalam kangen.
Di saat orang2 apatis tentang nilai uang yang semakin lama semakin turun, baca postingan ini bener2 buka mata saya. Thank you. Nice post :)
ReplyDelete:)
ReplyDelete