Minggu lalu gw ketemuan sama temen gw yang baruuu aja lulus sidang tesis, yang berdua sama gw ke Aceh buat kondangan dan kami jadi super deket setelah itu, Galuh namanya. Galuh adalah partner nge-Richeese Factory sejati karena kami berdua sama-sama doyan banget makan di Richeese walaupun dengan level yang selalu jauh berbeda. Ngga cuma partner nge-Richeese, Galuh juga partner hunting kajian di Bandung. Semangat belajarnya luar biasa, sesuatu yang selalu bikin gw iri ketika keimanan gw lagi geal-geol kaya api lilin ketiup angin. Ketemuan kemaren ini adalah ketemuan pertama semenjak gw nikah, hampir sebulan berarti. Padahal sebelum nikah, bisa tiap hari kami ketemuan di masjid Salman ITB yang ujung-ujungnya ke Richeese juga.
Banyak obrolan mengalir, termasuk how it feels to be a wife. Ada satu poin yang kami garisbawahi dan kami bahas lumayan lama, yang atas request Galuh juga akhirnya gw nulis ini, supaya bisa dibaca lagi dan ngga lupa.
Tentang membaca dan tentang ekspektasi.
Coba lo lihat foto gw gendong bocah di bawah ini. Gw udah super ngarep si Ikhlas, sepupunya Tari ini, senyum ceria pas gw gendong. Bukannya senyum ceria, dia malah nyengir-nyengir begini selama gw gendong. Eh tapi dia ngga nangis ko pas sama gw #penting.
Mirip begini lah yang namanya ekspektasi. Kenyataan ngga selalu sejalan dengan harapan. Maka? Maka kendalikan harapan.
Awalnya Galuh nawarin gw baca buku Rumah Tangga-nya Fahd Pahdepie, gw belom pernah tahu dia siapa kecuali dari timeline facebook karena beberapa temen suka ngeshare statusnya. Sebelumnya, Tari juga mempromosikan hal yang sama. Gw tanya tentang apa itu bukunya. Oh ternyata si Fahd ini sharing kehidupan keluarganya dia yang bisa jadi inspirasi gimana kita menjalani hari-hari berumah tangga. Salah satu ceitanya adalah pas istrinya penulis baru melahirkan, si istri sebisa mungkin ngga membangunkan suami buat ikut repot ngurusin bayi tengah malem. Trus penulis sadar betapa istrinya baik banget ngga mau bikin dia bangun tengah malem kuatir cape. Datanglah inisiatif buat bawain bunga untuk si istri, lalu istrinya bahagia. Gitu salah satunya, ceunah.
Gw mengernyit dan mikir sejenak. Bayangan abang pernah bilang "Itu kan kata buku, aku ngga gitu tuh. Aku kan bukan laki-laki yang disurvey di buku." ketika gw mencoba mempraktikkan teori buku yang menjelaskan laki-laki itu ketika ada masalah butuh waktu untuk diberi ruang menyendiri. Nyatanya suami gw malah pernah blak-blakan minta ditanya ketika dia tampak ada masalah, bukan gw harus diam memberinya ruang sampe dia siap kembali ke dunia nyata dan cerita semuanya ama gw. Dia malah minta gw banyak bertanya dan banyak ngomong supaya moodnya kembali lagi. Bayangan itu bikin gw singkat bilang "Ngga ah, aku gamau baca buku itu."
Sejak itu gw jadi lebih selektif dalam membaca. Jika itu ilmu, gw dengan sangat terbuka mau baca. Tapi jika cuma cerita, ada kekhawatiran tersendiri yang kemudian menjadikan gw lebih hati-hati dan selektif.
Gw takut ketika gw membaca kisah tentang bagaimana berumahtangga, alam bawah sadar gw mematok bahwa seperti itulah kehidupan rumah tangga yang ideal. Lalu, kalau ternyata kenyataan berbeda dengan standar ideal, ujungnya cuma kekecewaan. Karena nyatanya setiap rumah tangga itu unik, setiap inidividu itu unik, maka kebahagiaan pasti lahir dalam rupa yang berbeda-beda.
Gw ngga mau ketika gw membaca kisah suami yang membawakan istrinya bunga karena suatu sebab, gw jadi pengin diperlakukan seperti itu, trus kecewa ketika suami gw ngga melakukan hal yang serupa. Gw ngga mau kecewa, karena nyatanya hidup dengan seseorang yang kita pilih sungguh mendatangkan banyak kejutan dan kebahagiaan dalam wujud-wujud sederhana, tak mesti sama dengan kisah di buku cerita tentang rumah tangga.
Bukan lantas sama sekali ngga mau membaca, hanya lebih selektif saja. Bukan bermaksud membatasi jalan masuknya ilmu, tapi tentang itu, gw merasa belajar sambil berjalan beriringan berdua lebih membahagiakan daripada belajar dari buku-buku cerita.
Kaya apa buku yang gw maksud ilmu? Buat yang mau nikah atau udah nikah tapi butuh pengetahuan lebih, coba baca Barakallahulaka Bahagianya Merayakan Cinta tulisannya ustad Salim A. Fillah, atau Prophetic Parenting, atau buku-buku rumah tangga yang memberikan pengetahuan, bukan kisah bagaimana si penulis menjalani rumah tangganya. Kecuali yang ditulis adalah kisah rumah tangga Rasulullah, atau sahabat yang sangat patut diteladani. Seperti Abu Bakar yang menyerahkan hampir semua hartanya untuk pergerakan perjuangan Islam, mendukung dakwah Rasulullah; hal serupa yang dilakukan Hasan Al Bana, dan ajaibnya lagi istri-istri mereka ridho dengan hal itu. Hanya menyisakan sedikiiiiitttt untuk pribadi, selebihnya untuk umat, untuk Islam. Ngga cuma harta, istri-istri mereka juga ridho banget supaya suaminya ngga berdiam diri di rumah tapi keluar rumah supaya bisa menebar manfaat lebih besar. Nyatanyaaa...nungguin pulang kerja aja rasanya lama betul ngga nyampe-nyampe rumah, ini bukti mendorong suami untuk aktif di luar demi memberikan manfaat lebih besar ngga segampang itu, ngga segampang yang kita baca di buku-buku.
ini loh yang namanya Galuh |
Lain ladang lain belalang
Lain lubuk lain ikannya
Lain orang lain pula pola pikirnya
Nah beginilah pemikiran gw yang disambut dengan senyum sama subjek cerita "Aku kan ngga kaya di buku" itu.
Bogor mendung gelap, kemaren hujan angin, Bandung pun hujan angin sampe banyak pohon tumbang innalillahi. Semoga hujan Allah turunkan di bumi tempat fakta dipermainkan, termasuk di bagian-bagian Indonesia yang
Salam,
Rahma yang baru aja belajar bikin pempek.
artikelnya bagus dan memberikan manfaat gan !!!
ReplyDeleteobattradisionallipoma.wordpress.com