Di sela-sela hujan yang tidak lagi rintik karena derasnya dan obrolan singkat dengan suami yang tengah menyelesaikan pekerjaannya, dahi Anjali mengernyit hingga kedua alisnya bertemu. Jarinya berhenti dari pergerakan naik turun scrolling timeline Facebook.
"Sayang, lihat deh ini.", Anjali menyodorkan handphonenya pada suaminya, Rahul, yang disambut dengan suara berdehem panjang. Hmmmmm...
Pada layar handphone Anjali, tampak postingan seorang teman yang mereka berdua kenal, Tina, yang menegur dengan nada sindiran tentang isi ceramah ustad Khan karena dinilai tidak sesuai dengan pemahaman golongannya. Ke bawah, muncul postingan Ajay yang menegur seseorang dengan cara serupa, menyindir, dan tentu saja tanpa tag seseorang yang dimaksud.
Anjali menghembuskan nafas panjang.
Dia teringat masa-masa yang disebutnya zaman kegelapan, zaman ketika hidayah belum menyapa, Allah dan Islam sungguh jauh terasa.
"Mas Hul," panggilan sayang Anjali pada suaminya yang berwajah mirip Shah Rukh Khan itu, "aku ngga suka deh sama postingan yang provokatif kaya tadi punya Tina sama Ajay. Kalau aku baca postingan kaya gitu dua tahun lalu, mungkin aku malah jadi ilfil sama Islam, bukannya tercerahkan."
"Iya sih, yang kaya gini nih yang bikin orang ilfil dan mikir kalau Islam isinya orang-orang yang ngeributin perbedaan kecil, trus lupa sama PR besar kita di akhir jaman.", jawab Rahul.
"Makanya aku nahan diri ngepost yang beginian, yang kontroversial gitu loh Mas. Ngga ngerti kan yak gimana penerimaan dan pemahaman orang. Ngeri ugak kalo aku jadi sebab terhalangnya orang dapet hidayah."
Kemudian obrolan singkat itu berakhir karena keduanya mengunyah pisang goreng hangat ditemani hujan yang berirama menghentak genting rumah mereka.
***
Sadar atau engga, provokasi ada di mana-mana. Ngga cuma di media massa atau saat demonstrasi menuntut Presiden memenuhi janji-janji surga kampanyenya, provokasi juga ada sangat dekat dengan kita. Dilontarkan sebagian orang yang kita kenal dan bisa kita lihat lewat kotak kecil bernama henpon. Di timeline gw sendiri aja, ngga sedikit yang menegur dengan nada sindiran tanpa mention atau tag orang yang ingin ditegur, ada juga yang menjelek-jelekkan pemahaman saudara sesama muslim hanya karena berbeda golongan. To be brief, ngga sedikit yang salafi nyindir-nyindir tarbiyah, yang tarbiyah nyindir-nyindir HTI, yang HTI nyindir-nyindir tarbiyah, yang Muhammadiyah nyindir-nyindir NU, daaan seterusnya dan seterusnya. Oh yes gw sebut merk dengan jelas karena memang begitu kenyataan yang gw temui.
Padahal......
Satu, Islam mengajarkan pengikutnya untuk selalu husnudzon atau berprasangka baik. Jauh sebelum di Indonesia dikenal asas praduga tidak bersalah, Islam hadir 1400an tahun lalu udah ngajarin kita buat menerapkan asas praduga tidak bersalah sampe terbukti memang salah. Jadi, di mana aplikasi husnudzon yang didenger setiap pengajian kalau kita lebih banyak berprasangka buruk sama muslim yang lain?
Dua, Islam mengajarkan cara menegur yang ahsan. Imam Syafii pernah bilang "Nasihati aku ketika aku sendiri, jangan nasihati aku di kala ramai. Karena nasihat di kala ramai bagai hinaan yang melukai hati.". Dan buat hal ini, postingan di media sosial jelas bukan definisi dari "sendiri" kecuali lo memakainya buat ngejapri. Sependek pemahaman gw, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menegur di depan umum seseorang yang dateng ke masjid lalu tampak ngga akan shalat 2 rakaat dulu. Beliau menegur langsung di depan umum karena jika ditunda, orang tersebut ngga akan shalat 2 rakaat. Artinya, boleh menegur di depan umum buat hal yang mendesak, kalau ngga langsung ditegur bakal terjadi kesalahan, dan tegurannya ngga bisa ditunda.
Tiga, pada dasarnya ngga ada orang yang seneng mengetahui dirinya salah. Kalaupun pada akhirnya dia berterima kasih dan merasa senang telah diingatkan, pastilah ada proses dan waktu yang berperan.
Empat, sindir-menyindir dan saling menjelekkan terhadap orang lain yang ngga sepaham berpotensi menghambat datangnya hidayah. Yeah you might say hidayah itu dari Allah, ketika Allah berkehendak maka kun fayakun. Tapi kalau kita bisa jadi sebab datangnya hidayah, bisa juga dong kita jadi sebab terhambatnya hidayah? Berapa banyak orang yang tadinya udah berniat mau diskusi serius soal Islam karena pengin tahu lebih dalam jadi batal karena lihat postingan lo yang nyindir sesama muslim? Jawabannya adalah you never know. Bisa aja ngga ada, tapi bisa juga ada 100 orang. Nah loh.
Lima, PR kita banyaaakkk. Gw inget banget kata ustad Fariz, guru les bahasa Arab di masjid Salman ITB, di sela-sela materinya. Beliau cerita kalau Syaikh Al Buthi pernah berkata dalam ceramahnya, yang dimaksud Islam ada 70 golongan dan hanya ada 1 golongan yang akan masuk surga itu.....golongan yang dimaksud bukan NU, Muhammadiyah, tarbiyah, salafi atau golongan lain you may say. Satu golongan yang dimaksud adalah kita in syaa Allah, yang berpegang pada Al-Qur'an dan as-sunnah. Jadi udah bukan masanya lagi saling menghujat, menyindir satu sama lain. Energi besar yang Allah beri bukan buat itu seharusnya kita habiskan, masalah yang nunggu urun pikiran dan tangan kita buanyaakkkk kisanak *elap keringet pake kerudung*.
Ehem...
Sebagai makhluk yang terlahir dibekali akal, manusia punya kemampuan berpikir, mencerna informasi dan memilih. Mencerna informasi yang sampai lewat berbagai indera, memutuskan mana yang sesuai dengan nurani, lalu memilihnya; termasuk soal menilai benar atau salah. Benar atau salah, relatif di mata makhluk tapi bernilai mutlak di hadapan Allah Pencipta semesta. Bukankah ngga ada yang mengetahui soal benar dan salah lebih baik daripada yang mencipta segalanya?
Segitu sulitkah menemukan alasan buat berbaik sangka dengan sesama muslim yang lain?
dari serial Omar
Baydewey, judulnya gw bikin ala judul artikel masa kini ah. Ngga asing kan pasti sama artikel dengan judul sepanjang jalan kenangan kita saling bergandeng tangan yang ketika dibuka ternyata zooonk....... isinya cuma 3 kalimat, itu pun kalimat pertamanya sama plek ketiplek ama judulnya. Oh man!