Seperti halnya negara punya peraturan dan undang-undang sendiri, yang berbeda dengan negara lain;
seperti halnya perusahaan berhak memutuskan jam operasional pegawainya;
seperti halnya resep soto, yang berbeda bumbunya antara soto Padang dengan soto Semarang;
begitu pula keluarga, ia berhak memiliki aturan-aturannya sendiri.
Sejak Afiqa masih dalam kandungan, gw dan suami banyak berdiskusi tentang seperti apa kami akan mendidik anak-anak kami. Walaupun sebagian besar berakhir tanpa kesimpulan karena tergoda obrolan dengan topik lain atau karena ketiduran setelah belasan menguap hoam hoam, seenggaknya kami tahu, ke jalan mana Afiqa dan adek-adeknya akan kami arahkan.
Salah satu rule yang kami sepakati adalah "No handphone near kids". Sebenernya no gadget sih, tapi karena gadget yang paling handy buat gw dan suami cuma henpon jadi yaa begitulah jadinya undang-undang keluarga pak Ghazali pasal 4 nomor 1 tentang Perlindungan Anak. Sebab awalnya adalah penjelasan super panjang dan teknis tentang neuron, dendrit, akson, tempurung kepala dan perkembangan otak anak yang mostly gw udah lupa dari buku Welcome to Your Child's Brain-nya Sandra Aamodt hasil riset belasan tahun. Intinya, otak anak masih sangat sangat sangat rentan terhadap paparan radiasi, terlebih newborn yang tempurung kepalanya belum bersatu.
Akhirnya....
Disepakati jarak 2 meter. Boleh ambil foto atau ngerekam video dari jarak dekat dengan prasyarat henpon di-airplane mode dulu. Boleh naroh di deket bayi dengan prasyarat serupa. The good thing is, kalo lagi sama Afiqa, kami fokus sama dia. Selain karena alasan teknis per-otak-an, kami juga ngga pengin jadi orangtua yang hadir raganya namun tidak jiwanya. Kami pengin hadir seutuhnya.
Is it easy? No, I'm telling you it's not easy. Di jaman di mana manusia sangat attached sama henpon, hal sesimple ini pun butuh perjuangan. Tapi apalah artinya hidup tanpa perjuangan, yakan?
Saya sama istri juga sepakat gak boleh sering pake di rumah.... Semoga aturannya bisa dilaskanakan dan istiqamah yah
ReplyDelete