Dua hari lalu adalah hari blogger nasional. Setelah angsajenius lama gw diamkan dengan berbagai alasan, pas buka twitter kok ya paaaaaaaaassssss banget nemu tweetnya pak Nukman ini.
Trus terjadilah dialog berikut dalam hati
Rahma: Halah mana katanya pernah komitmen one day one post.
Rahma: Loh tapi kan udah cerita di path, instagram sama twitter.
Rahma: Ya tapi kan ngga semuanya tercover kalo di sana.
Rahma: Iya sih. Ini banyak kok ide tulisan gw simpen di Google Keep.
Rahma: Tapi gak ditulis, sama aja to? *lempar pisang goreng*
Rahma: *mangap*
Rahma: *nyingkirin piring pisang goreng dulu*
Monolog apa sih ini. Hhhhh.
Blogger aktif tahun 2010 dan tahun-tahun sebelumnya pasti ngerasain kejayaan blogging. Blogwalking, saling visit, komen di postingan, saling follow, komen di chatbox, sibuk mempercantik tampilan blog, custom widget mulu, dan pasang banyak badge pluuusss ikut giveaway yang mengharuskan nulis dengan tema tertentu. Oh I miss the good old days! Enam tahun kemudian, fitur media sosial makin lengkap termasuk buat nulis cerita panjang.
Mendapati tweet pak Nukman seperti tamparan buat gw. Angsajenius dibuat tahun 2010 sebagai tempat gw cerita. Karena gw ingin tetap hidup meskipun cuma lewat cerita. Bukan sekali dua kali ada orang nanya kenapa gw ngga nulis tentang per-IT-an, dunia yang gw selami sejak 2008 masuk kuliah di IT Telkom. Tapi dari awal memang angsajenius ngga ada niatan ke sana, ini adalah tempat gw cerita. Bukankah kita bisa mengenal seseorang melalui ceritanya? Dan bukankah satu cerita bisa menumbuhkan gagasan dan ide-ide brilian yang baru?
Ngutip kalimatnya seorang temen blogger, karena nisan tidak memberikan apapun selain nama, tanggal lahir dan tanggal wafat. Maka blogginglah supaya tetap hidup, kita ngga pernah tahu kan dari tulisan mana orang terinspirasi untuk berbuat baik?
Blog memang rumah untuk ide, gagasan dan kisah. Facebook, instagram, path, twitter hanyalah jendela dan pintunya. Kita bisa memberi dengan mengulurkan tangan lewat jendela, tapi untuk memberi sambil berbincang maka masuklah ke rumahnya. Tengoklah isi rumahnya, jangan hanya berdiri di depan jendela.
Bahagia rasanya tiap mendapati postingan dibaca sampe seribu view, walaupun ngga jarang juga cuma 300an. Bahagia rasanya tiap nemu komentar di blog karena it takes more effort dibandingkan komen di media sosial. Bahagia rasanya diapresiasi, bukan berarti haus apresiasi tapi itu salah satu pelecut untuk terus bercerita. Sumbu utamanya tetep aja kemauan untuk punya rumah di dunia maya, yang kadang disiram bahan bakar dengan pertanyaan suami "Mana blognya kok ngga diupdate, nulis lagi dong."
Gw sangat sadar banyak yang lebih senior di dunia perbloggingan, lebih rutin update, lebih bermutu kontennya, lebih tinggi hit-nya, tapi hidup tak selalu soal perbandingan. Lelah kapten kalau terus membandingkan. Lakukan yang lo bisa, bukan malah menggerutu karena kalah dari orang lain sebutlah namanya siapa.
Jadi, mau mengisi rumah dengan perabot bermutu atau terus sibuk memandang foto perabot tetangga lewat jendela, Rahma?