Tahu nggak kenapa anak satu setengah tahun lompat dari kursi tinggi? Atau kenapa mereka suka eksperimen masukin jarinya ke colokan listrik? Atau kenapa mereka mau lihat anjing tetangga yang dikurung dalam pagar dengan tulisan "Awas Anjing Galak" dari dekat? Karena anak-anak nggak kenal rasa takut.
Bayi terlahir hanya dengan dua rasa takut alami. Satu, takut dijatuhkan; dua takut suara keras. Itulah kenapa bayi-bayi nangis ketika mereka ditaruh, merasakan sensasi mau jatuh dan ada suara keras. Tapi, lama-lama mereka tumbuh dari bayi menjadi balita, dan kita kerap menemukan balita punya terlalu banyak rasa takut yang menurut kita nggak perlu.
Seperti anak dua tahun yang takut naik tangga perosotan, pun setelah dibantu sampai atas, dia juga nggak berani meluncur sampai-sampai orangtuanya harus berbusa-busa "Ayo dong dek merosot nih syuuut kaya teman-teman."
Atau anak tiga tahun yang nggak berani pipis sendiri karena lampu kamar mandi belum nyala, katanya dia takut gelap nanti ada badut.
Kenapa ada anak-anak yang takut pada banyak hal, padahal mereka terlahir tanpa rasa takut alami? Apalagi kalau bukan karena orangtuanya yang menakut-nakuti. Ya cuma kadang-kadang kita tu nggak sadar ajaaa pak buk kalau sedang membangun rasa takut di jiwa anak. Kita beralasan sedang membuat anak awas dan hati-hati, padahal nyatanya......... emang iya?
Awas jangan lompat, keseleo kalau jatuh nanti.
Naiknya jangan tinggi-tinggi ya, ngerii.
Hati-hati gelasnya jatuh, pecah nanti.
Jangan pegang kompor, awas panas!
dan seterusnya
dan seterusnya
Ya kan, dalam hati kita pasti punya alibi bahwa kalimat itu meluncur demi kebaikan si anak. Padahal, nggak sering semuanya justru membentuk rasa takut dalam diri si anak.
Kita terlalu sering fokus pada the worst possible outcome, kaya manjat maka jatuh, dekat kompor maka kena panas, berenang maka tenggelam, pegang gelas maka jatuh dan pecah; makanya yang keluar dari mulut kita pas mau ngingetin anak ya begitu juga. Padahal, kalau kita fokus pada the best possible outcome, wow perbedaannya luar biasa loh. Manjat tinggi wah berarti harus hati-hati, dekat kompor jadi tahu oh kompor ini ada apinya, api itu panas, semuanya tanpa harus ditakut-takuti dengan kemungkinan terburuk.
Abang nih sering banget ingetin aku untuk jangan banyak melarang dan jangan banyak owas-awas aja. Gara-garanya waktu main di taman, ada anak yang lebih besar dari Afiqa nggak berani main perosotan sampai ayahnya beeeerrrrkali-kali nyuruh dan nyemangatin si anak buat naik. Anaknya ciut aja, nggak mau. Langsung dong abang ngasih kultum selama di perjalanan pulang, jangan sampai kita banyak melarang dan nakut-nakutin trus akhirnya anak-anak jadi kaya gitu.
Oh iya tentu saja pointed cause bahwa si anak yang takut tadi dulunya sering dilarang itu cuma prediksi kami berdua. Hahaha. Ya nggak mungkin juga lah aku tanya "Permisi pak kenapa kok anaknya nggak berani main perosotan? Dulunya sering dilarang ya pak?". Siapa elu, kenal juga kagak!
Tapi bener kan?
Makin besar, makin banyak hal yang kita takutkan. Kita takut ditolak, takut nggak diterima, takut berbeda pendapat, takut nggak kelihatan cantik, takut kalo jerawatan, takut gendut, takut kurus, takut gelap, takut sakit, dan banyaaaaakkkk takut-takut lainnya. Rasa takut ini bukan takut alami, tapi kita bentuk seiring kita bertambah usia.
Buktinya, bayi senang ditatap lekat walaupun hidung mereka meler dan eeknya beleber kemana-mana, plus belom mandi. Orang dewasa? Jerawatan aja banyak yang pake masker karena malu bukan karena biar nggak terpapar debu.
Jadi, gimana biar anak nggak penakut?
Ya jangan ditakut-takuti.
Afiqa kubiarin manjat teralis pintu dan pagar sampai paling atas, sampai aku nggak bisa megangin. Loncat dari kursi tinggi juga sudah mulai kubiarin karena aku tahu dia sudah cukup lincah. Pegang panas juga kubiarin. Pakai gunting tajam juga sudah. Matiin kompor juga semangat tiap dengar ceret bersiul tanda air mendidih. Biar apa? Biar nggak tumbuh jadi anak penakut, toh kalau sakit atau terluka juga dia akan merasakan sendiri.
Pernah nggak jatuh dari teralis? Pernah lah hahaha.
Nangis nggak? Jelas.
Tapi seenggaknya dia belajar sendiri bahwa ada yang namanya risiko, yang bisa terjadi kalau kurang hati-hati. Bukan ciut sendiri karena ditakut-takuti.
Jangan didik anak menjadi penakut, tapi didik mereka menjadi anak yang tahu konsekuensi.
Kalian gimana gaes, ada pengalaman berhadapan sama rasa takut anak nggak? Cerita ya di kolom komentar :D
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca! Silakan tinggalkan komentar di bawah ini :)