Aku habis baca instastory Jouska, eh tahu kan Jouska? Itu loh financial adviser yang lagi hits karena konten instagramnya kece dan edukatif banget. Nah tadi dia upload dongeng tentang keuangan keluarga yang tadinya stabil mendadak runtuh gara-gara anaknya yang SMA bermasalah. Dia depresi dan pake narkoba sampai harus pindah sekolah empat kali.
Berat?
Pasti lah! Bahkan sampai ditulis, rasanya kaya pengin punya bayi dan nyusuin lagi aja daripada ngurusin remaja yang bermasalah.
Aku jadi inget kasus yang lagi viral, bullying Audrey. Ngikutin nggak? Aku sih enggak karena aku merasa terlalu banyak drama. Baca, oh cukup tahu sampai sini aja. Nggak kepo lebih lanjut. Nah yang bikin aku tiba-tiba inget kasus ini adalah karena keduanya punya kesamaan, antara dongeng Jouska sama bullying ini.
Sama-sama dilakukan oleh remaja, sama-sama tidak bisa diterima oleh norma dan agama. Kalau udah kejadian gitu, siapa yang jadi punya PR banyak? Ya siapa lagi kalau bukan emak bapaknya.
Tapi, aku sering baca dan ngerasain sendiri, punya bayi itu berat dan kadang ngeluhnyaaaa ngalahin gerbong KRL hahaha. Padahal bayi itu lahir dengan undangan, kita yang ngundang. Lewat doa, lewat ikhtiar. Sebenernya ketika ngeluh gitu bukan berarti nggak bersyukur sih, kadang ngeluh itu buat buang sampah aja. Setelah ngeluh, tahu bahwa ada temen yang mengalami hal sama, rasanya plooong dan bisa langsung on fire menghadapi drama anak bayi dan balita lagi.
Nah yang sering kita lupa, ngurus bayi dan balita ternyata jauuuhhh lebih gampang daripada ngurus anak remaja. Yaiyalah lupa orang anaknya aja baru tiga tahun, jelas belom ngalamin punya anak remaja, gitu kan yaa? Aha, aku bisa baca pikiranmu! hahaha.
Remaja bermasalah itu nggak tiba-tiba bermasalah loh.
Pasti udah ada sebabnya dari berbulan-bulan sebelumnya, atau bahkan bertahun-tahun yang kemudian terakumulasi sampai batas yang nggak bisa kita toleransi. Depresi, narkoba, mem-bully teman contohnya. Sungguh aku ngeri sendiri bayangin sepuluh tahun lagi akan seperti apa lingkungan pergaulan Afiqa, umur-umur mau masuk SMP kalau nggak didampingi dengan benar, nggak diinstal software baik sama orangtuanya, ya lingkungan yang akan melakukan tugas instal software itu. Masalahnya kita nggak bisa menjamin software yang diinstal lingkungan itu sesuai dengan value keluarga kita.
Mulai dari rumah, karena anak yang punya harga diri rendah akan berusaha bikin harga dirinya naik dengan memaki dan merendahkan orang lain. Sepenting apa sih urusan lain sampai kita nggak sempet main dan ngobrol sama anak? Buat kita, main itu sepele tapi buat anak bermain itu dunianya. Masa iya kita nggak mau invest waktu dan perhatian buat hadir sepenuhnya ngajak anak main.
Yuk peluk anak kita, peluk yang kenceng. Jangan gengsi untuk memuji plis, biar mereka nggak cari pujian di luar rumah dari orang-orang yang nggak jelas. Kalau anaknya perempuan, ayahnya jangan gengsi buat obral kata cinta. Biar dia nggak cari pengakuan dari laki-laki lain yang nggak jelas. Aduh ngeri sendiri aku ngetiknya.
Yuk ajak anak kita ngobrol, ngobrol ya bukan dikasih nasihat satu arah. Dengarkan apa perasaannya biar mereka nyaman curhat sama kita. Aku dulu selalu curhat sama ibuk tentang sekolah, temen-temen dan bahkan aku lagi naksir siapa. Setelah kuinget-inget lagi sekarang, kayanya karena ibuk nggak judgemental, ibuk mau mendengar aku cerita sampai selesai bukan menginterupsi di tengah-tengah dengan nasihat dan dalil.
Daripada bayar di belakang, mending bayar di muka. Bersusah-susah dulu sekarang, semoga Allah jaga anak-anak kita dan kita nggak harus berurusan sama kasus-kasus remaja yang bisa bikin cepet ubanan :(
Always, it's always easier said than done.
Tapi hal baik selalu layak diperjuangkan, kan?
-rahmadjati-
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca! Silakan tinggalkan komentar di bawah ini :)