Assalamu'alaykuum 😄
Kalau ditanya apa yang paling susah dari punya anak usia tiga tahun, salah satu jawabannya adalah kalau dia nggak mau dengar apa yang kubilang. Semakin dilarang, semakin drama. Nangis sampai kedengaran ke ujung jalan yang artinya tiga rumah ke samping, wow, atau justru semakin dilarang semakin semangat larangan itu dilakukan.
Tapi memang benar sih, pada akhirnya jadi orang tua itu mengulang instruksi berkali-kali dan mengulang larangan berkali-kali juga. Sedangkan menjadi anak itu ya mendengar instruksi dan larangan diulang beeerrrrrkali-kali. Nggak percaya? Coba deh hari ini aja, sudah berapa kali kalian ngasih instruksi ke anak dan berapa kali kalian melarang anak ini dan itu? Pasti nggak terhitung 😛
Sekarang coba kita telusuri dulu deh, yuk. Kenapa sih anak semakin dilarang semakin drama? Salah satunya kalau aku boleh tebak, pasti karena nggak ada aturan yang jelas yang sama-sama dipahami kedua belah pihak, orang tua dan anak. Atau kalau aturan memang sudah ada, pasti karena praktiknya nggak disiplin, aturan nggak ditegakkan dengan tegas. Benar nggak?
Kejadian yang lagi hot dan terulang hampir tiap malam di keluarga kami adalah drama Afiqa nggak mau pulang, Jadi setiap habis maghrib, aku, Afiqa dan Zara selalu ke rumah inyik. Lagi main bahagia happy-happy, mood Afiqa bisa berubah 180 derajat hanya gara-gara kuajak pulang. "Nggak mauu Afiqa mau bobo di inyik aja buk, ya buk? Boleh nggak buuk? Huuuuaaaa." sambil nangis teriak-teriak, lari kabur supaya nggak kugendong. Padahal briefing sudah, kuulang-ulang kalau Afiqa nanti tidur sama ibuk ya biar ketemu ayah. Iya-iya di depan, nyatanya pas mau diajak pulang tetap aja drama.
Berulang lagi dan lagi dan lagi. Sampai akhirnya aku sadar bahwa ada yang salah nih kenapa tiap malam drama cuma mau diajak pulang aja.
Baca juga: Persepsi Anak tentang Barang Branded
Aturan, yang sama-sama dipahami semua pihak dan disiplin dilaksanakan. Ini yang terlewat.
Memang sudah ada kesepakatan antara aku dan Afiqa bahwa dari satu minggu, Afiqa boleh tidur di rumah inyik dua kali. Harinya bebas. Sepertinya otak anak susah mengingat aturan ini, jadinya kesannya suka-suka boleh tidur sama ibuk atau sama inyik. Akhirnya aku dan Afiqa bikin kesepakatan baru, yang kuulang-ulang untuk memastikan dia paham. Crystal clear.
Kalimat yang kusampaikan kurang lebih begini:
Dalam satu minggu ada tujuh hari, Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu. Afiqa boleh bobo sama inyik hari Jumat dan Sabtu, hari lainnya, Senin Selasa Rabu Kamis dan Minggu sama ibuk.
Setelahnya, Afiqa jadi rajin ngabsen hari ini hari apa dan dia jatah tidurnya sama siapa.
Buat kesepakatan dengan anak
Sepenting itu loh membuat kesepakatan bersama anak, lebih penting lagi memastikan kesepakatan itu udah dipahami oleh anak. Karena tanpa aturan dan kesepakatan, apa dasar kita melarang-larang? Berlaku juga kalau kita mau menerapkan aturan nggak boleh makan permen di rumah misalnya. Jelaskan kenapa tidak boleh dan kapan ada pengecualian, misalnya kalau naik pesawat baru boleh makan permen. Padahal naik pesawatnya setahun sekali pas mudik aja, tapi dengan memberi ruang untuk pengecualian gini anak jadi nggak kecewa-kecewa amat. Hahaha, ya nggak? Jadi ada secercah harapan bahwa boleh makan permen gitu.
Larangan hanya bisa diterapkan jika ada aturan yang sama-sama dipahami anak dan orang tuanya.
Baca juga: Toilet Training Afiqa (bonus printable)
Jangan lupa diulang-ulang dan suruh anak yang jelasin seperti apa aturan yang sudah disepakati, untuk memastikan kedua pihak sama-sama paham. Trus kalau anak menolak, gimana? Tinggal diingatkan kalau ada aturan yang udah sama-sama disepakati. Aku biasanya menambahkan bilang "Afiqa lupa yaa?" soalnya entah kenapa kalimat Afiqa lupa ya itu bisa bikin dia membaik moodnya. Mungkin merasa dihargai karena nggak dianggap nggak paham aturan tapi dianggap lupa, yang mana manusiawi. Mungkiiin.
Sudah bikin kesepakatan dan aturan apa aja nih weekend ini?
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca! Silakan tinggalkan komentar di bawah ini :)