Langit kelabu meski matahari sedang terik-teriknya. Bukan karena mendung apalagi polusi karena asap pabrik jelas berkurang sejak pandemi, melainkan karena suasana hati yang sedang banyak berkhayal "bila nanti..".
Mengapa kita meletakkan kebahagiaan pada sesuatu yang belum pasti, sesuatu bernama masa depan yang mensyaratkan "nanti kalau.." Apakah kita tidak cukup bahagia dengan semua atribut yang melekat di diri kita saat ini?
Mengapa kita meletakkan kebahagiaan pada sesuatu yang belum pasti, sesuatu bernama masa depan yang mensyaratkan "nanti kalau.." Apakah kita tidak cukup bahagia dengan semua atribut yang melekat di diri kita saat ini?
Aku pasti akan lebih bahagia nanti...
- kalau sudah tinggal di rumah sendiri
- kalau punya handphone baru yang kameranya bagus dan tidak lemot
- kalau bekerja di ranah publik sehingga tidak pusing mendengar tangisan anak tiap hari
- kalau punya mobil sendiri sehingga tidak usah menunggu grab lama dan ribet begini
- kalau bisa mendapat pekerjaan di luar negeri
- kalau gaji sudah dua digit
- kalau sudah lulus kuliah
- kalau sudah punya anak
- kalau followers instagram sudah 10k jadi bisa swipe up *eeeehhhh 😜
Apakah ada jaminan kita akan lebih bahagia dibanding saat ini?
Bisa jadi, kondisi yang kita angankan akan membawa kebahagiaan justru mendatangkan masalah-masalah baru yang tidak pernah terbayang saat ini. Katanya, bahagia ada pada hati yang bersyukur. Di tengah berbagai keterbatasan selama pandemi dan banyaknya rencana yang tidak bisa terealisasi karena harus diubah lagi dan lagi, tidakkah kau tergoda membuktikan bahwa bahagiamu ada jika hatimu bersyukur?
Salam,
Rahma Djati
Bisa jadi, kondisi yang kita angankan akan membawa kebahagiaan justru mendatangkan masalah-masalah baru yang tidak pernah terbayang saat ini. Katanya, bahagia ada pada hati yang bersyukur. Di tengah berbagai keterbatasan selama pandemi dan banyaknya rencana yang tidak bisa terealisasi karena harus diubah lagi dan lagi, tidakkah kau tergoda membuktikan bahwa bahagiamu ada jika hatimu bersyukur?
Salam,
Rahma Djati
Setuju Rahma, kita suka mengasosiasikan kebahagiaan itu dengan kebendaan, jabatan, dan strata sosial, padahal sebenarnya mungkin kita bias bahagia sesederhana dengan menyukuri yang sudah ada.
ReplyDeleteSemakin ke sini, saya semakin belajar tentang diri sendiri, berkompromi dengan ambisi dan belajar menikmati hidup yang ada di depan mata. Kok jadi sok bijak gini ya hahaha
Terima kasih pencerahannya
kata *kalau* dan sejenisnya ini tanap disadari berpotensi menjerumuskan si empunya ke jebakan kufur nikmat..
ReplyDeletePadahal pagi hari kita masih bisa bangun dari tidur, membuka mata, bernafas dan berkedip saja itu sudah jadi karunia Tuhan yang luar biasa harus disyukuri... maka kebahagiaan apa lagi yang dicari?
nice posting bu :)